Pernahkah Anda membuka laptop atau menyiapkan buku catatan, lalu duduk dengan niat menulis, tetapi malah berjam-jam terjebak pada satu kalimat saja? Anda menghapus, menulis ulang, lalu menghapus lagi karena merasa “belum cukup bagus”. Jika iya, bisa jadi Anda sedang terjebak dalam perfeksionisme menulis.
Perfeksionisme ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuat kita ingin memberikan yang terbaik. Namun di sisi lain, perfeksionisme sering menjadi tembok yang menghalangi produktivitas. Banyak ide akhirnya mandek di kepala, tidak pernah benar-benar dituangkan ke dalam tulisan.
Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Mari kita bahas beberapa langkah praktis agar menulis terasa lebih lancar dan produktif.
Kesalahan umum penulis adalah berpikir bahwa setiap naskah harus langsung sempurna sebelum bisa dibaca orang lain. Padahal, kenyataannya hampir semua tulisan yang kita nikmati hari ini—entah itu buku, artikel, atau naskah film—sudah melalui banyak revisi.
Draf pertama hanya fondasi. Ia tidak perlu rapi, tidak perlu sempurna. Tugas utama Anda hanyalah menuliskan ide-ide yang masih segar, tanpa banyak pertimbangan. Seperti kata pepatah, “You can’t edit a blank page.” Artinya, tidak ada yang bisa diperbaiki kalau Anda tidak menuliskan apa-apa.
Bayangkan menulis itu seperti membangun rumah. Pada tahap awal, Anda hanya menyiapkan kerangka. Belum ada cat, dekorasi, atau furnitur. Semua itu baru datang kemudian. Jadi, jangan khawatir jika tulisan pertama Anda masih berantakan—itu bagian dari proses.
Banyak penulis pemula sering membandingkan diri dengan penulis senior. Kita melihat buku yang sudah diterbitkan, rapi, mengalir indah, lalu berpikir, “Kenapa tulisanku nggak bisa sebagus ini?”
Yang sering terlupa adalah bahwa karya-karya besar itu tidak lahir dalam sekali tulis. Bahkan penulis ternama pun pernah bergulat dengan draf awal yang kacau. Mereka melewati revisi berulang kali sebelum akhirnya menghasilkan karya yang layak dipublikasikan.
Faktanya, “sempurna” itu tidak ada. Setiap tulisan selalu bisa diperbaiki. Bahkan ketika sudah diterbitkan, sering kali masih ada bagian yang bisa disunting lagi. Jadi, alih-alih mengejar kesempurnaan yang tak ada ujungnya, lebih baik fokus pada progres. Setiap kata yang ditulis adalah langkah maju.
Pernahkah Anda merasa macet menulis karena terus-terusan kembali ke paragraf sebelumnya? Inilah jebakan umum perfeksionis: mengedit sambil menulis.
Masalahnya, menulis dan mengedit membutuhkan mode otak yang berbeda. Menulis butuh kreativitas bebas, sementara mengedit butuh ketelitian dan logika. Jika dilakukan bersamaan, otak jadi bingung dan hasilnya: ide terhambat.
Solusinya sederhana: pisahkan dua proses ini. Saat menulis, biarkan jari Anda mengalir tanpa banyak berpikir. Jangan khawatir salah ketik, tata bahasa, atau kalimat yang berulang. Nanti setelah draf selesai, barulah Anda masuk ke tahap penyuntingan. Dengan cara ini, Anda akan lebih produktif dan tulisan cepat selesai.
Selain tiga tips utama di atas, ada satu hal penting yang sering dilupakan: menulis seharusnya dinikmati. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Menulis adalah perjalanan, bukan lomba cepat-cepat sempurna.
Cobalah untuk lebih santai. Buat target kecil, misalnya 300 kata per hari. Jangan pedulikan dulu kualitasnya, yang penting konsisten. Seiring waktu, tulisan Anda akan berkembang.
Zahira Media Publisher © 2021